Ada seorang wanita yang baru saja dipersunting menjadi istri oleh seorang laki-laki. Lazimnya tradisi di Timur Tengah, saat malam pertama sang istri menyiapkan hidangan pembuka bagi suami. Mereka berkumpul mesra di ruang makan.
Tiba-tiba, keduanya mendengar suara ketukan pintu.
“Siapa tamu yang mengganggu ini?” kata sang suami sambil menghentak dan gusar.
Berdirilah istri menuju pintu lalu bertanya dari balik pintu, “Siapa?”.
“Saya adalah pengemis yang meminta sedikit makanan.” terdengar jawaban dari luar.
“Dia pengemis meminta sedikit makanan” kata si istri kepada suaminya.
“Hanya gara-gara pengemis ini istirahat kita terganggu apalagi kita sedang menikmati malam pertama?” kata si suami sembari marah-marah.
Si suami bergegas keluar dan langsung menghantam pengemis itu secara bertubi-tubi. Sesat kemudian, terdengar rintihan dan ringisan. Si pengemis pun berlalu membawa rasa lapar dan luka yang memenuhi ruh, jasad dan kehormatannya.
Si suami kembali menemui istrinya di dalam kamar pengantin dengan hati yang penuh emosi karena gangguan yang terjadi barusan. Sejurus kemudian, si suami terkena sesuatu menyerupai penyakit kesurupan, lalu dia merasa dunia menyempit dan menghimpitnya dengan keras. Lalu dia berlari keluar rumah dengan menjerit, meninggalkan istrinya yang ketakutan.
15 tahun berlalu...
Sang istri yang ditinggal suaminya ini mendapat pinangan lagi dari lelaki lain. Ia pun menerima dan mereka melangsungkan pernikahan.
Pada malam pertama, suami istri tersebut berkumpul didepan hidangan pembuka yang telah disajikan. Tiba-tiba keduanya mendengar suara ketukan pintu.
“Pergilah bukakan pintu”, kata si suami kepada istrinya.
Si istri menuju pintu dan bertanya, “Siapa?”.
“Pengemis meminta sesuap nasi”, kata tamu tersebut.
Si istri menemui suaminya yang langsung menanyakan siapa tamu.
“Pengemis meminta sesuap nasi”, jawab istrinya.
“Panggil dia kemari dan siapkan seluruh makanan ini diruang tamu lalu persilahkan dia makan sampai kenyang”, suruh suaminya kepada istrinya.
Si istri bergegas menyiapkan hidangan, membukakan pintu lalu mempersilahkan pengemis itu untuk makan.
Si istri kembali menemui suaminya dengan menangis.
“Ada apa denganmu?, Kenapa kamu menangis?, Apa yang terjadi?, Apakah pengemis itu menghinamu?”, tanya suaminya.
“Tidak”, jawab si istri dengan linangan air mata yang memenuhi matanya.
“Dia mengganggumu?”, tanya suami.
“Tidak”, jawabnya.
“Dia menyakitimu?”, tanya suami.
“Tidak”, jawabnya.
“Lalu kenapa engkau menangis?”, tanya suami.
“Pengemis yang duduk di ruang tamumu dan menyantap hidanganmu adalah mantan suamiku 15 tahun yang lalu. Pada malam penganti itu, ada pengemis datang dan suamiku memukulinya dengan keras. Setelah itu mantan suamiku kembali menemuiku dengan dada yang sempit. Aku menyangkanya dia terkena jin atau kesurupan. Dia lari meninggalkan rumah tanpa ada kabar sampai malam ini…Ternyata dia menjadi pengemis.”, kata si istri.
Si suami tiba-tiba menangis…
“Apa yang membuatmu menangis?” tanya istrinya.
“Taukah kamu siapa pengemis yang dipukul oleh mantan suamimu dulu?”, kata suami.
“Siapa dia?”, tanya sang istri.
“Sesungguhnya pengemis itu, aku…”, suaminya menjelaskan.
Moral Cerita
Kita tak pernah tahu apa yang terjadi esok hari, bahkan satu jam atau satu detik ke depan. Roda hidup terus berputar. Tatkala kita menjalani hidup, maka apa yang kita tabur dan itulah yang kita tuai. Beberapa kepercayaan menyebutnya sebagai karma, sementara secara ilmiah inilah hukum aksi-reaksi.
Ketika kita berbuat jahat pada orang lain, maka Tuhan, yang menciptakan keseimbangan di alam semesta ini, menjalankan hukum aksi-reaksi tersebut pada diri kita. Maka, berbuatlah baik sekuat mungkin agar kita pun mendapat ganjaran setimpal dari kebaikan kita.
Di sisi lain, bagi kaum wanita, alangkah indah menjaga kehormatan dan menjadi istri, ibu yang baik bagi keluarga. Sang wanita pada kisah nyata di atas tetap berpegang pada hukum agama yang ia anut, untuk menjaga kehormatan dan kesetiaan pada suami.
Sementara para suami dan siapa pun lelaki yang kelak menjadi seorang suami, sebuah kehormatan bagi kaum pria menjadi kepala rumah tangga. Memberi teladan yang baik kepada istri dan anak-anak adalah semulianya ketundukan kepada Tuhan. Termasuk memberi contoh kemurahan, kebaikan hati pada tetangga, dan sesama manusia. Maka, Insya Allah mendapat kebaikan yang sama.
Baca Juga: Penyakit yang Menular Melalui Ciuman